Nenek Ani

Nenek Ani dirawat di rumah sakit. Menurut doktornya, asmanya sudah semakin 

teruk hingga perlu dipasangkan salur oksigen. Sudah beberapa hari dia tidak 

bercakap dan seperti orang koma. Dikira sudah menjelang ajal, anaknya 

memangilkan seorang Mudhin (tukang do'a) agar di doakan. Sedang asyik Pak 

Mudhin berdoa, tiba-tiba muka nenek Ani bertukar warna biru seolah-olah tidak 

boleh bernafas. Tangannya menggigil. Dengan menggunakan bahasa isyarat 

nenek Ani minta diambilkan kertas dan alat tulis. Sisa-sisa tenaga yang ada 

digunakan oleh nenek Ani untuk menulis sesuatu dan memberi kertas tersebut 

kepada Pak Mudhin.

Sambil terus berdoa Pak Mudhin langsung menyimpan kertas tersebut tanpa 

membacanya kerana fikirannya dia tidak sanggup membaca surat wasiat 

tersebut didepan Ani. Tak lama kemudian nenek Ani meninggal dunia. Pada 

hari ketujuh meninggalnya nenek Ani, Pak Mudhin diundang untuk datang 

kerumah Ani.

Selesai memimpin do'a, Pak Mudhin berbicara, "Saudara-saudara sekalian, ini 

ada surat wasiat dari almarhum nenek Ani yang belum sempat saya sampaikan, 

yang saya pasti nasehat untuk anak cucunya semua. Mari kita sama-sama 

membaca suratnya".

Pak Mudhin membaca surat tersebut, yang ternyata berbunyi :

"Mudhin jangan berdiri di situ...! Jangan pijak saluran oksigen aku..!"